Memahami Sunk Cost Fallacy dalam Dunia Investasi
Buat kamu yang sudah “nyebur” ke dunia investasi saham, pasti pernah menemukan situasi dimana kamu merasa sulit untuk melepas saham tertentu. Padahal koreksi yang terjadi sudah mencapai dua digit, namun rasanya sulit untuk melepas saham itu karena artinya kamu akan menderita rugi yang cukup besar. Sehingga kamu terus menyimpan saham itu sambil sesekali membeli di harga bawah untuk bisa menurunkan harga rata-ratanya, harapannya saham kesayangan kamu akan bisa berbalik memantul dan terbang. Itulah yang dinamakan Sunk Cost Fallacy.
Ya, pikiran untuk berat melepas sesuatu yang sudah dimulainya, yang padahal sudah jelas menimbulkan kerugian adalah Sunk Cost Fallacy. Melansir International Banker, hal yang sama juga pernah terjadi di Amerika Serikat (AS) saat menarik pasukannya dari Afghanistan, biaya yang harus dikeluarkan selama menempatkan pasukan di negara yang saat ini dikuasai oleh Taliban itu mencapai USD2,6 triliun.
Hasilnya, perang tersebut terbukti “tidak dapat dimenangkan” oleh AS. Jadi istilah Sunk Cost Fallacy bisa jadi dalam semua aspek kehidupan, disaat kamu merasa berat untuk melepas sesuatu yang sebenarnya terbukti sudah tidak baik untuk dilakukan, itu juga bisa dinamakan sebagai Sunk Cost Fallacy.
(Baca juga: Tok! Indosat dan Tri Resmi Merger jadi Indosat Ooredoo Hutchison)
Bagaimana Menghindari Sunk Cost Fallacy?
Untuk menghindari sunk cost fallacy dalam dunia investasi, sebelumnya kamu harus memahami dulu apa itu investasi dan bagaimana mekanismenya. Sebagai contoh, saat melakukan investasi saham, ada istilah yang dikenal dengan stop loss atau level tertentu dimana kamu masih bisa mentolelir penurunan harga saham.
Misalnya, kamu membeli saham A di harga Rp150 per saham, dari awal kamu sudah harus menentukan batas bawah harga yang bisa ditolelir ketika terjadi penurunan harga, bisa 5%, 10% atau berapapun yang sekiranya masih bisa ditoleransi.
Jadi ketika penurunannya sudah melebihi itu, kamu bisa melakukan stop loss untuk meminimalisir kerugian.
Ingat, Sunk Cost Fallacy adalah pandangan yang membuat kamu merasa berat untuk melepas saham tertentu karena merasa sudah membenamkan dana terlalu banyak disana, hingga akhirnya malah membuat kamu menderita rugi yang cukup besar.
Perbedaan DCA dan Sunk Cost Fallacy
Selain itu, dalam investasi saham ada juga strategi yang dinamakan dollar cost averaging (DCA). Disini maksudnya adalah kamu membeli saham tertentu dengan cara mencicil atau menabung.
Mudahnya begini, kamu memilki dana dingin sekitar Rp10 juta untuk diinvestasikan di saham. Disini kamu tidak langsung menggelontorkannya dalam satu waktu, melainkan membelinya di hari yang sama setiap minggunya.
Hal itu terus dilakukan sampai mencapai Rp10 juta. Dari situ kamu akan mendapatkan harga rata-rata yang bisa meminimalisir terjadinya panic selling ketika pasar sedang bearish.
Skema DCA juga tidak begitu memperdulikan kondisi pasar, ketika pasar sedang mengalami koreksi dalam sekalipun, kamu tetap masuk dan membeli saham tersebut secara bertahap.
Lho bukannya hal itu malah akan membuat kita terjebak dengan sunk cost fallacy? Nah DCA dan Sunk Cost fallacy adalah hal yang berbeda, DCA merupakan strategi investasi yang mirip dengan menabung.
Perbedaaan Sunk Cost Fallacy dengan DCA adalah terletak pada seberapa paham kamu tentang saham yang ingin di koleksi. Saat akan melakukan DCA, kamu sudah harus paham betul bagaimana pergerakan harga sahamnya, kondisi fundamentalnya dan potensi bisnis kedepannya.
Sehingga, kamu melakukan DCA dalam keadaan sadar dan juga optimistis. Selain itu, imbal hasil yang diharapkan adalah imbal hasil secara jangka panjang, jadi dinamika harga yang terjadi tidak begitu di perhatikan, karena kamu sudah mengenal betul saham itu.Strategi DCA umumnya digunakan oleh investor, bukan trader alias pelaku pasar yang melakukan perdagangan saham dalam jangka pendek.
Nah ketika trader terus menambah dana di saham yang dalam keadaan down trend, hal itu malah akan membuatnya terjebak dalam sunk cost fallacy. Tetapi bukan berarti strategi DCA juga tidak berisiko ya.
Semua jenis investasi memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda. Tergantung bagaimana kamu mampu mengelolanya. Jadi pahami dulu jenis investasi yang ingin kamu lakukan agar tidak terjebak dalam kerugian. Terpenting adalah pastikan bahwa lembaga investasi tersebut terdaftar dan tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
(Baca juga: Agustus, Ada 249 Investasi Bodong yang di Tutup! Ini Modusnya)
Nikmati kemudahan akses pendanaan di Finpedia
Kamu yang saat ini membutuhkan dana cepat untuk ragam kebutuhan, bisa mengakses Finpedia.id. Katalog finansial itu menyediakan ragam produk keuangan dari lembaga perbankan, pembiayaan maupun peer to peer lending.
Mulai dari kartu kredit, kredit tanpa agunan, pinjaman modal usaha, pinjaman instan, pinjaman dana darurat, pinjaman dengan agunan sampai program cicilan biaya pendidikan bisa didapatkan dengan mudah di Finpedia.id.
Disana kamu bisa melihat informasi mulai dari suku bunga yang diberikan, jangka waktu, syarat yang dibutuhkan sampai pengajuan bisa dilakukan di Finpedia.
Dengan begitu, kamu tidak perlu repot untuk mengumpulkan informasi dari produk keuangan yang dibutuhkan dari ragam lembaga keuangan, seperti AdaPundi yang menyediakan pinjaman untuk semua keperluan kamu mulai dari Rp400 ribu sampai Rp6 juta. Akses sekarang dan penuhi kebutuhan darurat kamu segera!
Produk yang direkomendasikan
Limit kredit hingga Rp50 juta
Easycash
Rp 200,000 - Rp 80,000,000
Pencairan Dana Cepat! Proses dalam 3 menit, dan proses pencairan cepat.
Proses Pengajuan Mudah! Hanya butuh KTP dan ikuti 3 langkah pinjaman.
BPR Kredit Mandiri Indonesia
Rp 20,000,000 - Rp 2,000,000,000
✔ Tenor minimal Rp 20 juta
BFI Pembiayaan jaminan Sertifikat Rumah
Rp 50,000,000 - Rp 2,000,000,000
✔ Pinjaman hingga Rp 2 Milyar